Game 100% Buatan AI Pertama di Dunia Rilis Demo Gratis di Steam

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan sebuah video game di mana setiap baris kode, setiap piksel seni, setiap dentuman musik, dan setiap baris teksnya dibuat bukan oleh tangan manusia, melainkan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan. Bukan sekadar alat bantu, tapi sebagai satu-satunya pencipta. Itulah klaim berani dari Codex Mortis, game bullet hell yang kini menjadi percakapan hangat di kalangan penggemar dan pengkritik AI. Untuk pertama kalinya, sebuah game yang mengklaim diri sebagai “100% buatan AI” menghantam platform Steam dengan demo gratis, mengundang semua orang untuk menguji langsung: bisakah mesin menciptakan pengalaman bermain yang utuh?

Di tengah banyak studio yang diam-diam memanfaatkan AI atau justru menghindari pembicaraan tentangnya, tim kecil di balik Codex Mortis mengambil jalan yang benar-benar berseberangan. Mereka tidak hanya terbuka tentang penggunaan AI, tetapi menjadikannya sebagai proposisi utama—bahkan satu-satunya—dari game mereka. Steam listing-nya dengan gamblang menyatakan, “semua kode adalah kode vibe AI, juga seni, suara, musik, teks.” Ini lebih dari sekadar eksperimen teknis; ini adalah pernyataan sekaligus undangan untuk berdebat di tengah hiruk-pikuk kontroversi AI dalam industri kreatif.

Transparansi radikal ini terlihat hingga ke detail terkecil. Karakter-karakter dalam trailer game, misalnya, menggunakan wajah-wajah yang merupakan hasil modifikasi AI dari foto selfie anggota tim sendiri, yang kemudian ditempelkan pada tubuh penyihir zombie. Ini adalah bentuk kejujuran yang sekaligus terasa seperti lelucon dalam meta—sebuah pengakuan bahwa bahkan “identitas” sang pencipta dalam game ini pun telah diolah oleh algoritma. Lantas, apa yang tersisa dari sentuhan manusia? Mungkin hanya niat awalnya, dan tentu saja, keputusan untuk memencet tombol “publish”.

Dari sisi gameplay, Codex Mortis menawarkan formula yang cukup familiar bagi penggemar genre bullet hell, namun dengan bumbu nekromansi. Pemain dapat menggabungkan berbagai mantra, bertahan dari serangan musuh yang membludak, dan membangkitkan minion untuk bertarung. Game versi lengkapnya rencananya akan mendukung mode solo dan kooperatif. Namun, kesan awal dari mereka yang telah mencoba demo ternyata beragam. Banyak yang penasaran, tapi tak sedikit yang mencatat kejanggalan. Grafis dalam build game yang sebenarnya disebut-sebut terlihat lebih kasar dibandingkan trailer YouTube yang lebih halus. Beberapa pemain juga mengeluhkan antarmuka yang terasa canggung saat digunakan dengan controller.

Namun, di balik kekasaran itu, ada satu hal yang berhasil dibuktikan: loop permainan dasarnya berfungsi. Game ini bisa dijalankan, dimainkan, dan memberikan pengalaman dasar yang koheren. Itu pencapaian yang tidak remeh untuk sesuatu yang diklaim dibuat sepenuhnya oleh mesin. Pertanyaan besarnya, seperti yang diakui oleh banyak pengulas awal, adalah: apakah game ini menyenangkan? Atau jangan-jangan, ia hanya sekadar bukti konsep yang menarik secara filosofis, namun hambar secara emosional?

Tim pengembang tampaknya sangat menyadari dilema ini. Alih-alih berpromosi tentang kedalaman cerita atau kualitas grafis yang memukau, mereka justru mengerahkan semua energi untuk menggaungkan sudut “100% buatan AI”. Strateginya jelas: dalam iklim di mana penggunaan AI sering memicu backlash, transparansi total diharapkan dapat menarik perhatian dan rasa ingin tahu, bukan kemarahan. Mereka seperti berkata, “Ini sepenuhnya buatan AI, silakan nilai sendiri.” Pendekatan ini berhasil membagi pemain menjadi dua kubu: yang melihatnya sebagai proyek seni eksperimental yang menarik untuk didukung, dan yang menganggapnya sebagai contoh nyata—dan agak mengkhawatirkan—dari bagaimana AI mulai menggeser peran seniman, programmer, dan komposer manusia dalam pengembangan game.

Keberadaan Codex Mortis tidak bisa dilepaskan dari kebijakan platform tempatnya bernaung, Steam. Baru-baru ini, Valve dilaporkan telah meluncurkan fitur untuk mendeteksi konten buatan AI dalam game yang diunggah ke platformnya. Kebijakan ini muncul sebagai respons atas kekhawatiran pelanggaran hak cipta, di mana Valve diketahui menolak game-game yang diduga mengandung aset AI yang melanggar hak cipta. Kehadiran Codex Mortis yang terang-terangan justru menjadi kasus uji yang menarik. Apakah game ini lolos karena menggunakan model AI yang “bersih” secara legal, ataukah ia menandai pendekatan baru Valve dalam mengklasifikasikan konten AI? Ini adalah pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Pertaruhan yang diambil oleh studio di balik Codex Mortis cukup jelas. Dengan harga yang direncanakan rendah untuk rilis akhir nanti, mereka bertaruh pada kombinasi antara rasa ingin tahu dan keterjangkauan harga. Mereka tidak berusaha menyaingi game-game triple-A, melainkan menawarkan sebuah artefak digital dari era baru—sebuah eksperimen yang bisa Anda beli dan mainkan. Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini mengingatkan kita pada eksperimen lain di persimpangan AI dan gaming, seperti ketika Claude AI diuji cobakan untuk memainkan Pokémon Red, yang menunjukkan potensi sekaligus keterbatasan AI dalam memahami konteks dan narasi game yang kompleks.

Pada akhirnya, demo gratis Codex Mortis memberikan sesuatu yang sangat berharga: kesempatan bagi setiap orang untuk menjadi juri. Ia mengajak kita untuk mengalami langsung dan menjawab pertanyaan mendasar. Dapatkah sebuah game yang dibangun seutuhnya dari alat AI memiliki “kepribadian”, jiwa, atau kejutan yang membuat kita terpikat? Ataukah hasilnya akan terasa persis seperti yang kita duga: efisien, fungsional, namun datar dan tanpa kedalaman emosional yang lahir dari pengalaman manusia yang nyata? Jawabannya mungkin tidak hitam putih. Codex Mortis mungkin bukan game terbaik yang akan Anda mainkan tahun ini, tetapi ia bisa jadi salah satu yang paling penting untuk dipahami, sebagai penanda zaman di mana batas antara pencipta dan alat mulai kabur.

Lanskap gaming sendiri terus berevolusi dengan cara-cara yang tak terduga. Jika AI mulai menciptakan game dari nol, di sisi lain, kita juga melihat game merambah ke platform baru, seperti inisiatif Volkswagen yang menggandeng AirConsole untuk menghadirkan game di berbagai mobil buatannya. Sementara itu, pasar game buatan Indonesia juga terus menunjukkan taringnya dengan karya-karya penuh identitas. Di tengah semua perkembangan ini, Codex Mortis berdiri sebagai sebuah monumen—atau mungkin peringatan—tentang masa depan produksi konten digital. Jadi, sebelum Anda mengambil sikap tentang AI dalam seni, mungkin ada baiknya mencoba demo-nya. Siapa tahu, Anda justru menemukan pesona tersendiri di balik kekasaran buatan algoritma tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI