Telset.id – Bayangkan Anda berada di tengah bencana. Air menggenang, akses terputus, dan ketidakpastian menyelimuti. Di saat seperti itu, apa yang paling Anda butuhkan selain makanan dan tempat tinggal? Informasi. Koneksi. Sebuah tanda bahwa dunia luar masih ada dan bantuan sedang datang. Itulah mengapa kabar dari Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid soal pemulihan Base Transceiver Station (BTS) di Aceh bukan sekadar angka statistik, melainkan denyut nadi harapan yang perlahan kembali berdetak.
Dalam acara “Temu Nasional Pegiat Literasi Digital” di Jakarta, Rabu (17/12/2025), Meutya Hafid memaparkan perkembangan terkini infrastruktur telekomunikasi pascabencana banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera. Fokus perhatian tertuju pada Aceh, di mana pemulihan menghadapi tantangan paling berat. Menurut Menkomdigi, hingga saat ini, sekitar 50 persen jumlah BTS di Provinsi Aceh telah dilaporkan beroperasi atau on air. Angka ini mengungkap sebuah realitas: separuh jalan telah ditempuh, namun separuh perjalanan lagi masih menanti dengan medan yang tak mudah.
“On air-nya (BTS) masih di angka 50 persen, sehingga memang masih terasa amat berat terutama di daerah-daerah seperti di Bener Meriah, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan sebagainya karena listriknya belum stabil,” kata Meutya, menyentuh akar persoalan yang sering luput dari perbincangan: ketergantungan BTS pada pasokan listrik yang andal. Pemulihan menara sinyal ternyata bukan hanya soal memperbaiki antena atau perangkat pemancar, tetapi juga tentang menyalakan kembali gardu-gardu listrik yang ikut tumbang diterjang banjir. Inilah narasi pemulihan yang sebenarnya—sebuah upaya berantai yang melibatkan banyak pihak di garis depan.
Antara “Pulih” dan “Beroperasi”: Memahami Dua Wajah Pemulihan
Meutya Hafid kemudian memberikan penjelasan yang penting untuk dicermati. Ia membedakan antara BTS yang secara fisik telah recover (pulih) dan BTS yang benar-benar dapat dioperasikan. “Kalau dalam sudah recover (pulih) dalam arti tower-nya sudah berfungsi, itu memang di 87 persen,” ujarnya. Artinya, dari sisi perbaikan infrastruktur fisik, kemajuan sudah sangat signifikan. Hampir 9 dari 10 menara BTS di Aceh sudah berdiri kembali dan secara teknis siap berfungsi.
Lalu, mengapa hanya 50% yang on air? Di sinilah kompleksitasnya terletak. Keberfungsian sebuah BTS tidak hanya bergantung pada menara yang kokoh. Ia membutuhkan pasokan listrik yang stabil, akses jalan untuk perawatan, dan jaringan backhaul yang menghubungkannya ke inti jaringan. Ketika listrik belum stabil, seperti yang disinggung Meutya, BTS yang sudah diperbaiki pun hanya akan menjadi menara bisu. Pernyataan ini sekaligus merupakan apresiasi terselubung. “Kenapa perlu disebut, untuk mengapresiasi teman-teman operator juga yang meskipun keluarganya juga terdampak, di tengah bencana mereka coba memulihkan,” tutur Menkomdigi, menggarisbawahi human interest di balik angka-angka teknis tersebut.
Perbandingan dengan provinsi lain semakin mempertegas tantangan di Aceh. Data sementara yang dilaporkan Meutya menunjukkan pemulihan di Sumatra Barat (Sumbar) sudah mencapai 99 persen, sementara di Sumatra Utara (Sumut) sudah berada di kisaran 97-98 persen. Perbedaan yang mencolok ini mengindikasikan bahwa dampak bencana dan kondisi geografis di Aceh mungkin lebih kompleks, atau proses restorasi energi listriknya berjalan lebih lambat. Namun, di balik angka 50% itu, ada semangat gotong royong digital yang patut disorot.
Baca Juga:
Gotong Royong Digital: Ketika Operator, Starlink, dan SATRIA-1 Bersatu
Pemulihan ini jelas bukan kerja satu instansi. Meutya menegaskan kolaborasi yang terjalin erat. “Dan ini kerjanya bukan kerja Komdigi saja, kami koordinasi dengan seluruh operator seluler, bahkan Starlink, Satria-1 punya pemerintah, semuanya berjibaku.” Pernyataan ini menggambarkan sebuah ekosistem tanggap darurat digital yang mulai terbentuk. Masing-masing pihak membawa keunggulannya: operator seluler dengan jaringan BTS terestrialnya, Starlink dengan koneksi satelitnya yang cepat diterapkan, dan Satelit Republik Indonesia SATRIA-1 dengan cakupan luasnya untuk layanan pemerintahan dan publik.
Koordinasi data menjadi kunci lain. “Semua teman-teman operator juga mengkoordinasikan data-datanya di Komdigi sehingga kita tahu datanya yang cukup akurat,” tambah Meutya. Dalam situasi krisis, data yang akurat dan terpusat adalah kompas. Ia mencegah duplikasi usaha, mengarahkan bantuan ke daerah yang paling membutuhkan, dan memberikan gambaran real-time yang diperlukan untuk pengambilan keputusan. Model kolaborasi ini seharusnya menjadi blueprint untuk penanganan darurat digital di masa depan.
Lalu, apa urgensi dari semua upaya ini? Meutya menjawab dengan jelas: informasi. “Keberadaan BTS yang aktif memiliki peran penting bagi warga di daerah bencana, mengingat selain bantuan pokok seperti makanan, informasi menjadi hal penting yang sangat dibutuhkan khususnya dalam mengakses informasi darurat.” Di era digital, pemutusan akses komunikasi bukan hanya soal tidak bisa mengirim pesan; itu adalah pengasingan, penciptaan kepanikan, dan hambatan bagi logistik bantuan. Sinyal yang kembali hidup adalah pertanda bahwa isolasi telah berakhir.
Peran Komunikasi Publik yang Empatik di Tengah Krisis
Lebih dari sekadar membangun menara, Kementerian Komunikasi dan Informatika, di bawah kepemimpinan Meutya Hafid, menekankan pendekatan yang lebih manusiawi. “Komdigi juga punya peran komunikasi publik yang empati. Kita bukan kementerian infrastruktur yang langsung bergiat membangun jembatan-jembatan, tapi kita memahami bahwa dalam kerangka komunikasi di tengah bencana, komunikasi di tengah krisis, itu penting sekali untuk menyambung rasa,” kata Meutya.
Konsep “menyambung rasa” ini menarik. Ia mengangkat fungsi komunikasi dari level teknis (transmisi data) ke level psikologis dan sosial. Di saat bencana, warga tidak hanya butuh tahu di mana posko bantuan, tetapi juga butuh mendengar bahwa pemerintah hadir, bahwa sanak keluarga di luar zona bencana baik-baik saja, dan bahwa ada harapan. Pemulihan BTS 50% di Aceh, dalam perspektif ini, adalah pemulihan 50% kemampuan untuk “menyambung rasa” tersebut. Ini selaras dengan upaya pemerintah dalam aspek pemulihan lain, seperti sosialisasi perlindungan anak di ruang digital yang juga berangkat dari kepedulian.
Pendekatan empatik ini juga mencakup antisipasi risiko di ruang digital pascabencana, di mana kerentanan masyarakat bisa tinggi. Seperti yang pernah diingatkan dalam konteks lain, krisis bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemulihan konektivitas harus diiringi dengan literasi dan pengawasan untuk memastikan ruang digital yang kembali hidup adalah ruang yang aman dan mendukung pemulihan.
Jadi, apa yang kita saksikan dari laporan Menkomdigi ini? Ini bukan sekadar laporan progres proyek. Ini adalah cerita tentang ketangguhan. Cerita tentang teknisi operator yang meninggalkan keluarga yang juga terdampak untuk memperbaiki BTS. Cerita tentang koordinasi lintas platform yang biasanya bersaing ketat. Cerita tentang memahami bahwa di abad 21, membangun jembatan komunikasi sama pentingnya dengan membangun jembatan fisik.
Angka 50% BTS on air di Aceh adalah gambaran bahwa perjalanan masih panjang. Tantangan pasokan listrik yang stabil di daerah seperti Bener Meriah dan Aceh Tamiang masih menjadi penghalang besar. Namun, angka 87% BTS yang secara fisik telah pulih adalah fondasi yang kuat untuk percepatan. Ketika listrik mulai normal, persentase BTS yang beroperasi bisa meloncat dengan cepat. Kolaborasi yang telah terjalin antara pemerintah, operator, dan penyedia satelit menjadi aset berharga untuk tahap-tahap pemulihan selanjutnya, tidak hanya di Aceh tetapi untuk seluruh Indonesia dalam menghadapi ancaman bencana di masa depan. Pada akhirnya, setiap persentase kenaikan BTS yang on air bukan hanya menambah kekuatan sinyal, tetapi juga memperkuat harapan dan ketahanan masyarakat yang sedang bangkit.

