Telset.id – Bayangkan Anda berada di tengah bencana, telepon tak bisa dihubungi, pesan tak terkirim, dan dunia seolah terputus. Itulah realitas yang masih membelenggu sebagian wilayah Aceh pasca-banjir bandang. Padahal, di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, pemulihan jaringan telekomunikasi hampir rampung. Lantas, apa yang membuat Aceh tertinggal jauh?
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Meutya Hafid baru-baru ini mengungkap data yang cukup mencengangkan. Pemulihan jaringan di Sumut telah mencapai 98 persen, sementara Sumbar bahkan lebih baik di angka 99 persen. Namun, ketika sorotan beralih ke Aceh, angkanya terjun bebas: hanya 40 persen. “Mungkin fokus kita sekarang ke Aceh,” ujar Meutya, mengakui bahwa provinsi tersebut menjadi pekerjaan rumah yang mendesak. Konektivitas, dalam situasi pascabencana seperti ini, bukan lagi sekadar kemewahan, melainkan urat nadi bagi koordinasi bantuan, informasi keluarga, dan pemulihan psikologis warga.
Narasi pemulihan yang timpang ini mengundang tanya. Jika infrastruktur menara BTS dilaporkan tidak ada yang roboh, seperti disampaikan Meutya, lalu di mana sebenarnya titik kritisnya? Jawabannya, ternyata, terletak pada sesuatu yang lebih fundamental dan sering dianggap remeh: pasokan listrik. Ibarat tubuh manusia yang sehat namun tak bernyawa tanpa jantung yang berdetak, menara BTS yang utuh pun tak berarti apa-apa tanpa aliran listrik yang stabil.
Listrik: Kunci yang Masih Mengunci
Meutya Hafid dengan gamblang menyebut bahwa ketersediaan listrik adalah faktor utama yang menghambat. “Kalau listrik sudah kembali, sekali lagi ini akan amat membantu dari sisi konektivitas, khususnya di wilayah Aceh,” tegasnya. Pernyataan ini diperkuat oleh Jerry Mangasas Swandy, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (APJATEL). Jerry mengungkapkan bahwa infrastruktur telekomunikasi, termasuk fiber optik, sebenarnya sudah siap beroperasi. Kendalanya? “Kita tunggu arahan dari Pak Bahlil, karena Pak Bahlil sebagai Menteri ESDM, yang tupoksinya di sana,” ujarnya, merujuk pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia.
Ada gambaran menarik dari Jerry yang menggambarkan situasi di lapangan. Proses pemulihan seperti “kejar-kejaran” antara tim PLN dan operator telekomunikasi. Begitu listrik menyala di suatu area, BTS di lokasi itu dapat dihidupkan, dan secara otomatis koneksi melalui fiber optik dapat terjalin. Namun, tanpa listrik, semua upaya itu bagai mendayung perahu di daratan. Meutya bahkan memberikan estimasi yang konkret: jika pasokan listrik tersedia, 75 persen jaringan di Aceh bisa segera pulih. Sisanya, 25 persen, adalah pekerjaan teknis memperbaiki gangguan transmisi pada site-site tertentu.
Baca Juga:
Lalu, bagaimana dengan kerusakan fisik jaringan? Jerry dari APJATEL mengakui ada beberapa titik fiber optik yang rusak akibat longsor. Namun, kabar baiknya, penanganan sudah dilakukan dengan memanfaatkan jaringan cadangan atau redundant. “Karena kita ada redundant, bukan hanya primary. Jadi semua backbone itu kondisinya bagus,” jelasnya. Pernyataan ini sedikit meredakan kekhawatiran, menunjukkan bahwa sektor telekomunikasi memiliki ketahanan tertentu. Namun, ketahanan itu punya batas, dan batas itu adalah ketergantungan mutlak pada sektor lain: ketenagalistrikan.
Belajar dari Bencana: Koordinasi Antar-Kementerian yang Diuji
Kasus Aceh ini menjadi studi kasus nyata tentang betapa krusialnya koordinasi lintas sektor dalam penanganan bencana. Komunikasi dan informatika tidak bisa berjalan sendiri. Ia bergantung pada energi. Logistik bantuan bergantung pada komunikasi. Rantai ketergantungan ini seperti jaring laba-laba; jika satu benang putus, kekuatan seluruh jaring bisa berkurang. Upaya penyediaan internet satelit darurat oleh Kominfo di 10 titik adalah langkah mitigasi yang brilian, tetapi ia tetap solusi sementara. Solusi permanen tetap kembali pada jaringan terrestrial yang pulih, dan itu membutuhkan listrik.
Anda mungkin bertanya, mengapa pemulihan listrik di Aceh lebih lambat? Jawabannya kompleks. Faktor geografis wilayah terdampak yang mungkin terpencil, kerusakan berat pada gardu dan jaringan distribusi PLN, serta akses logistik untuk perbaikan di tengah kondisi pascabencana, bisa menjadi beberapa penyebab. Ini adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan sinergi ekstra. Situasi ini mengingatkan pada pentingnya infrastruktur yang tangguh dan rencana kontinjensi yang melibatkan semua pemangku kepentingan, sebagaimana upaya Telkomsel menjaga kualitas jaringan saat banjir di Sulawesi Selatan.
Pelajaran lain yang bisa diambil adalah pentingnya diversifikasi sumber energi untuk infrastruktur kritis seperti BTS. Mungkin sudah waktunya untuk mendorong adopsi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau sistem hybrid yang lebih masif untuk menara-telekomunikasi di daerah rawan bencana. Dengan begitu, ketika jaringan listrik utama padam, BTS masih bisa beroperasi untuk beberapa waktu, menjaga agar urat nadi komunikasi tetap berdenyut.
Pemulihan 40 persen di Aceh bukan sekadar angka statistik. Di baliknya, ada potret ketahanan digital nasional yang masih rapuh di beberapa titik. Ada cerita tentang warga yang masih kesulitan memberi kabar “aku baik-baik saja” kepada keluarga. Namun, ada juga secercah harapan. Jika fokus dan koordinasi diperkuat, dan pasokan listrik segera mengalir, lonjakan pemulihan dari 40 persen ke 75 persen bukanlah mimpi. Itu adalah target yang sangat mungkin dicapai. Pada akhirnya, memulihkan sinyal di Aceh bukan hanya tentang memperbaiki menara dan kabel, tetapi tentang memulihkan harapan dan menghubungkan kembali kehidupan yang tercerai-berai oleh bencana. Seperti upaya berkelanjutan XL Axiata memperluas jaringan 4G hingga ke pelosok, tantangan di Aceh adalah ujian nyata bagi komitmen konektivitas nasional, terutama di saat-saat paling sulit.

