Xiaomi Pasang Dompet Kripto di HP Baru, Langkah Inovatif atau Bloatware Baru?

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan membeli smartphone baru, membuka kotaknya dengan penuh antusiasme, hanya untuk menemukan aplikasi yang tidak pernah Anda minta sudah terpasang di sana. Sekarang, bayangkan aplikasi itu adalah dompet kripto. Itulah realitas yang akan dihadapi jutaan pengguna Xiaomi mulai tahun depan. Perusahaan asal Tiongkok itu diam-diam telah menandatangani kesepakatan untuk memasang aplikasi dompet dan penjelajah kripto dari Sei Labs di semua ponsel barunya yang dijual di luar Tiongkok daratan dan Amerika Serikat. Sebuah langkah berani yang diklaim sebagai upaya mendemokratisasi teknologi blockchain, tetapi bagi banyak pengguna, ini mungkin hanya bloatware terbaru yang memenuhi memori mereka.

Xiaomi, raksasa yang menduduki peringkat ketiga penjualan smartphone global setelah Apple dan Samsung, bukanlah pemain kecil. Dengan pangsa pasar lebih dari 13 persen dan volume penjualan sekitar 160 juta unit per tahun, keputusan mereka untuk mem-preinstall aplikasi kripto bukanlah hal sepele. Ini adalah gerakan strategis yang berpotensi mengenalkan teknologi aset digital kepada audiens yang sangat luas, terutama di pasar berkembang di mana Xiaomi memiliki cengkeraman kuat. Namun, di balik narasi “inovasi” dan “akses Web3”, tersembunyi pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar untuk kepentingan pengguna, atau sekadar cara baru untuk memonetisasi perangkat keras yang sudah mereka bayar?

Kemitraan dengan Sei Labs ini menarik karena skalanya. Aplikasi yang akan terpasang otomatis itu terikat dengan Sei, sebuah blockchain Layer 1 yang dirancang khusus untuk perdagangan aset digital. Fungsinya ganda: sebagai dompet kripto dan gerbang untuk mengakses layanan Web3. Menurut Sei, pengguna nantinya bisa melakukan pembayaran peer-to-peer, berinteraksi dengan aplikasi terdesentralisasi (dApps), dan menjelajahi produk berbasis blockchain lainnya tanpa perlu mengunduh aplikasi tambahan. Ambisi mereka bahkan melampaui smartphone. Rencananya, mereka ingin mengaktifkan pembayaran menggunakan stablecoin (mata uang kripto yang nilainya dipatok dengan aset stabil seperti dolar AS) di lebih dari 20.000 gerai ritel Xiaomi di seluruh dunia, dimulai dari Hong Kong dan sebagian Uni Eropa. Bayangkan membeli HP Xiaomi terbaru dengan USDC langsung di tokonya.

Namun, mari kita jeda sejenak dari visi futuristik itu dan kembali ke realitas pengguna biasa. Bagi banyak orang, “bloatware” atau perangkat lunak sampah yang terpasang paksa adalah momok yang sudah lama mengganggu. Xiaomi sendiri memiliki catatan kelam dalam hal ini. Beberapa tahun lalu, ponsel-ponsel mereka terkenal datang dengan segudang aplikasi pihak ketiga yang jarang digunakan. Perusahaan sempat berusaha memperbaiki diri, menjadi lebih transparan, dan mengurangi praktik ini. Nah, kemitraan dengan Sei ini, bagi sebagian pengamat, terasa seperti langkah mundur. Memasang aplikasi kripto secara default—sebuah teknologi yang masih asing, kompleks, dan berisiko bagi banyak orang—tanpa persetujuan eksplisit, dianggap sebagai tindakan yang kurang tepat. Apalagi, tidak semua pengguna ponsel Xiaomi adalah tech-savvy atau tertarik dengan dunia kripto.

Dampak di Pasar Domestik dan Global

Lalu, siapa yang paling terdampak? Lihatlah angka-angka pangsa pasar Xiaomi. Di Yunani, misalnya, Xiaomi menguasai 36,9 persen pasar smartphone. Di India, angka itu sekitar 24 persen. Artinya, di negara-negara tersebut, potensi paparan teknologi blockchain melalui ponsel Xiaomi akan sangat masif. Sei Labs, dalam siaran persnya, dengan bangga menyatakan bahwa kesepakatan ini bisa mengenalkan kripto kepada jutaan orang. Narasinya jelas: inklusi finansial dan demokratisasi teknologi. Namun, ada sisi lain dari koin yang sama. Pasar seperti India memiliki regulasi ketat terkait aset kripto. Bagaimana pemerintah setempat menyikapi langkah Xiaomi ini? Apakah ini akan memicu diskusi regulasi yang lebih dalam?

Di sisi lain, keputusan untuk mengecualikan Tiongkok daratan dan AS dari program pre-install ini sangat menarik. Eksklusi Tiongkok mungkin terkait dengan larangan ketat negara tersebut terhadap transaksi kripto. Sementara itu, pasar AS yang sangat kompetitif dan memiliki pengawasan ketat dari badan seperti SEC (Securities and Exchange Commission) mungkin dianggap terlalu berisiko untuk langkah agresif semacam ini. Pilihan untuk fokus pada pasar Eropa, Asia (kecuali Tiongkok), dan lainnya menunjukkan strategi yang lebih hati-hati, memilih medan tempur di mana regulasi mungkin lebih longgar atau belum sepenuhnya terbentuk.

Pertanyaannya, apakah pengguna di Indonesia, yang juga merupakan pasar signifikan bagi Xiaomi, akan menerima kehadiran aplikasi dompet kripto ini dengan tangan terbuka? Atau justru melihatnya sebagai gangguan lain yang menghabiskan ruang penyimpanan? Ingat, pengalaman pengguna adalah segalanya. Ketika Anda membeli perangkat seperti Xiaomi 17 Pro, Anda mengharapkan kinerja mulus dan software yang bersih. Kehadiran aplikasi bawaan yang tidak diinginkan bisa merusak kesan pertama itu.

Bloatware vs. Nilai Tambah: Di Mana Batasnya?

Inilah dilema abadi di industri teknologi. Di mana batas antara “fitur nilai tambah” dan “bloatware”? Beberapa tahun lalu, aplikasi bawaan mungkin hanya game sederhana atau klien media sosial. Kini, kita berbicara tentang dompet digital yang terhubung dengan ekosistem keuangan terdesentralisasi yang bernilai miliaran dolar. Tingkat kompleksitas dan potensi risikonya jauh lebih tinggi. Sebuah dompet kripto memerlukan pemahaman tentang private key, keamanan seed phrase, dan fluktuasi harga aset yang sangat volatil. Mem-preinstall-nya tanpa edukasi yang memadai ibarat memberikan mobil balap Formula 1 kepada seseorang yang baru belajar menyetir.

Xiaomi mungkin berargumen bahwa ini adalah bagian dari evolusi menuju smartphone yang lebih “cerdas” dan terhubung. Mereka bisa saja menyebutnya sebagai persiapan untuk masa depan di mana transaksi digital dan identitas berbasis blockchain menjadi norma. Namun, pengguna punya hak untuk bertanya: mengapa tidak menjadikannya aplikasi opsional yang bisa diunduh dari App Store atau Google Play Store jika dibutuhkan? Mengapa harus dipaksakan? Jawabannya, seperti biasa, mungkin terletak pada insentif ekonomi. Kemitraan seperti ini sering kali melibatkan pembayaran atau bagi hasil antara pembuat aplikasi (Sei Labs) dan produsen hardware (Xiaomi). Setiap instalasi, meski tidak pernah dibuka, memiliki nilai.

Lalu, bagaimana dengan komitmen Xiaomi terhadap pengalaman pengguna yang bersih? Beberapa waktu lalu, perusahaan ini mendapat pujian karena upayanya mengurangi bloatware. Sistem operasi HyperOS mereka bahkan diklaim lebih ringan dan efisien. Anda bisa membaca lebih lanjut tentang update terbaru sistem operasi ini di artikel kami mengenai HyperOS 3 Xiaomi yang resmi rilis untuk ponsel lawas. Namun, langkah pre-install dompet kripto ini seolah bertolak belakang dengan narasi pembersihan itu. Ini mengingatkan kita bahwa di dunia bisnis, keputusan sering kali didorong oleh logika pasar dan peluang monetisasi baru, bukan semata-mata kesucian pengalaman pengguna.

Jadi, apa yang bisa dilakukan pengguna? Jika Anda berencana membeli ponsel Xiaomi baru pada 2026 atau setelahnya, bersiaplah untuk menemukan aplikasi Sei di laci aplikasi Anda. Kabar baiknya, di sebagian besar wilayah, aplikasi pre-install biasanya masih bisa di-uninstall atau dinonaktifkan. Namun, prosesnya mungkin tidak semudah menghapus aplikasi yang Anda unduh sendiri. Ini menjadi pengingat bahwa sebagai konsumen, kita harus selalu kritis. Setiap inci ruang di smartphone kita adalah real estat digital yang berharga. Dan kita berhak memutuskan apa yang menempatinya.

Pada akhirnya, langkah Xiaomi ini adalah cermin dari sebuah industri yang terus mencari cara baru untuk tetap relevan dan menghasilkan uang. Di satu sisi, ada potensi nyata untuk memperluas akses teknologi finansial yang inovatif. Di sisi lain, ada aroma kapitalisme pengawasan dan monetisasi paksa yang sulit dihilangkan. Sebelum tergoda oleh promo gadget terbaru, seperti yang mungkin muncul dalam Xiaomi Carnival 2025, ada baiknya kita juga mempertanyakan apa yang sebenarnya kita dapatkan—dan apa yang dipaksakan—dalam setiap kotak smartphone yang kita beli. Masa depan mungkin berbasis blockchain, tetapi jalan menuju sana seharusnya dipilih oleh pengguna, bukan dipaksakan oleh produsen.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI